DEV Community

Dasapta Erwin Irawan
Dasapta Erwin Irawan

Posted on

Sudah 2021 anda masih …

Oleh: Dasapta Erwin Irawan

Artikel ini pertama kali muncul di Good Science Indonesia

Lonceng 12 malam pastinya sudah berdentang 3 jam yang lalu. Hari pergantian tahun ini senyap. Ada larangan ketat di kompleks saya. Yang senang ya orang-orang seperti saya. Sejak kecil saya memang tidak pernah merayakan tahun baru di luar rumah. Di dalam rumahpun tidurnya ya rutin saja, toh esok hari bumi masih berputar seperti biasa. Tanggal 1 Januari tidak akan berbeda dari hari yang lain. Begitu almarhum ayah saya bilang.

Bjorn Brembs

Melihat kondisi sains di Indonesia juga sama. Hari ini 1 Januari 2021, kondisinya masih sama dengan kemarin. Jadi saya harus realistis.
Image for post
Image for post
Anda masih berpikiran (super) statis dan sempit

Saya tahu akademia sering disebut sebagai kaum yang dinamis dan berpikiran terbuka. Sekarang mari kita renungkan dan buktikan sama-sama.

Akademia masih mempertahankan tradisi diseminasi ilmu yang sempit. Hanya melalui makalah ilmiahlah, maka ilmu yang Anda bagikan akan diakui orang lain.

Padahal makalah itu adalah hasil akhir saja. Hanya itu yang dilaporkan dan hanya itu yang dinilai. Prosesnya sendiri diharapkan dapat tercermin dari makalah itu. Bagaimana bisa dengan ketentuan jumlah kata yang sangat kaku? Bukankah lebih menarik kalau dinamika risetnya juga disampaikan selayaknya acara dokumenter di TV. Akademia memang profesi yang menjemukan, walaupun yang dilakukannya menarik. Saya tahu menarik, karena saya melakukannya setiap hari.

Kalau ditanya, kenapa penyebaran ilmu baru bisa diakui kalau sudah terbit sebagai makalah ilmiah di jurnal (tertentu). Jawabnya pasti adalah karena dalam proses penerbitannya ada peninjauan sejawat. Tapi kalau balik ditanya, kenapa peninjauan sejawat hanya bisa diakui kalau dilakukan oleh jurnal. Jawabnya pasti, “ya dari dulu juga begitu”. Bukankah itu tradisi, karena kita sudah tidak berniat lagi mempertanyakan kenapa atau bagaimana kita bisa memperbaikinya.

Kemudian saya jadi teringat masa kecil dulu, disuruh masuk rumah menjelang maghrib oleh orang tua saya. Alasannya, “ada setan lewat”. Bahkan ketika saya bertanya kok tahu ada setan lewat, orang tua saya bisa menjawab bahwa sebenarnya setannya ada kapanpun. Yang jadi masalah kalau sudah menjelang malam, pandangan orang berkurang, sementara ada banyak motor dan mobil di jalanan. Jadi sebaiknya masuk ke rumah. Lagipula besok hari sekolah.

Bahkan alasan ada setan lewatpun masih bisa dirasionalkan. Sementara mengapa peninjauan sejawat hanya diakui kalau dikendalikan jurnal, hampir tidak ada bisa menjelaskan ya secara rasional relatif terhadap kemajuan teknologi saat ini. Ada juga yang bilang, kan jurnal tenpat peneliti berkumpul, jadi mencari peninjau akan lebih mudah. Kata siapa? Bukankah di zaman internet ini kita berkumpul di mana saja. Lagipula bukankah kampus Anda juga tempat berkumpulnya peneliti.

Ketika saya menyampaikan argumentasi di atas, rekan-rekan pengelola jurnal pasti ada yang marah. Padahal maksud saya bukan merendahkan tugas mereka. Saya hanya mencoba memutar logika berpikir menggunakan cara berpikir sehari-hari saja. Bukankah sehari-hari kita selalu berpikir, bagaimana cara yang lebih mudah dan cepat. Karena itulah jalan tol dibuat dan “jalan tikus” dipertahankan.

Belum lagi ketika saya bertanya, untuk siapa Anda menerbitkan makalah di jurnal? Pasti jawabannya untuk masyarakat. Ketika ditanya masyarakat yang mana yang dimaksud. Hampir pasti tidak ada yang menjawab, karena memang masyarakat yang dimaksud adalah kelompok akademia juga. Artinya kita ini menerbitkan sesuatu untuk dibaca kawan kita sendiri.

Ok sekarang zaman internet, apakah ada cara lain? Banyak, misal koran. Sudah banyak akademia yang menuliskan idenya di koran. Bahasanyapun sudah cukup ringan untuk dibaca masyarakat awam. Tapi apakah artikel di koran itu dihargai sama dengan makalah yang terbit di jurnal. Tentu tidak. Kembali lagi alasannya adalah, karena belum ditinjau oleh sejawat. Padahal kalau dipikir yang membaca seluruh Indonesia kalau patokannya jangkauan distribusi koran. Apalagi saat ini ada banyak media digital, termasuk blog pribadi. Di sinilah poin di bawah ini masuk.

Akademia juga berpikir super sempit, karena mereka pikir peninjauan (catatan, koreksi, masukan) hanya bisa mereka sampaikan melalui kanal-kanal tertentu saja. Salah satunya via jurnal. Padahal Sang Penulis bisa dihubungi dengan berbagai jalur. Platform untuk memberikan hasil peninjauannyapun sudah beragam. Intinya ada banyak cara.

Atau bisa jadi, kelompok kita ini dan masyarakat pada umumnya memang malas untuk memberikan peninjauan kecuali diminta oleh pengelola jurnal. Apalagi kalau yang meminta adalah pengelola jurnal “bergengsi”. Kalau ini terjadi, pasti tugas peninjauan itu dipamerkan dengan bangga ke mana-mana. Padahal itu bisa jadi adalah salah satu bentuk eksploitasi akademia.

Sampai di sini, mari kita periksa kembali, apa betul akademia adalah kelompok yang dinamis dan berpikiran terbuka?

Mungkin kita ini selain berpikiran statis dan sempit, juga handal mencari jalan untuk membuat pikiran lebih statis dan lebih sempit.

Ada banyak contoh yang lain sebenarnya. Tapi saya khawatir artikel ini jadi terlalu panjang. Dilarang oleh jurnal untuk berpanjang-panjang katanya. :).
Anda masih menilai buku dari kulit luarnya

Saya tahu nasihat anda ke anak-anak adalah jangan menilai seseorang dari bajunya atau penampilannya.

Tapi coba lihat kelakukan kita sendiri.

Akademia selalu menilai seseorang dari profil akademiknya. Sampai tahap tertentu, itu tidak salah. Saat ini ada banyak sekali layanan pembuat profil akademik secara daring. Itu sudah seperti KTP seorang akademia. Akan menjadi salah ketika yang dilihat bukan karyanya secara langsung dengan membacanya, tapi akumulasi jumlah sitasi yang diwakili angka indeks H.

Tidak hanya itu, akademia juga terbiasa melihat nama jurnalnya sebelum membaca makalahnya. Dengan alasan, jurnal tertentu dan bergengsi memiliki proses penerbitan yang baik. Padahal semua sepakat ini bagian atas tadi, kalau inti dari proses penerbitan adalah proses peninjauan sejawat. Nah kalau itu yang menjadi inti, maka kemudian kita bergeser kepada siapa orang-orang yang melakukan proses peninjauan. Dengan asumsi bahwa jurnal top adalah tempat berkumpulnya orang-orang top juga. Artinya makalah itu bisa terbit akan bergantung juga kepada siapa yang meninjaunya. Artinya ada faktor subyektif di situ.

Faktor subyektif yang saya maksud bukan masalah suka atau tidak suka, tapi lebih kepada preferensi peninjau. Saya umpamakan para peninjau adalah orang-orang yang sudah terbiasa naik Peugeot atau Citroen, yang empuknya setengah mati. Lewat jalan bergelombang, rasanya rata saja. Nah orang-orang itu pasti bilang naik Toyota tidak enak, karena suspensinya tidak seempuk mobil yang biasa mereka pakai sehari-hari.

Jadi dengan cepat para peninjau itu akan menolak artikel Anda, “para penunggang Toyota” :).
Anda masih menilai dari bahasa

Belum membaca isinya, anda sudah mengurungkan niat ketika melihat bahasa yang digunakan bukan Bahasa Inggris. Di tengah perkembangan teknologi alih bahasa dan proses bahasa natural kita masih berpikir bahwa bahasa sains adalah Bahasa Inggris.

Masalah ini membesar ketika nilai yang lebih tinggi diberikan untuk dokumen yang ditulis dalam Bahasa Inggris dibandingkan dokumen yang ditulis dalam Bahasa Indonesia.

Lebih parah lagi, kita bersikukuh untuk menuliskannya dalam Bahasa Inggris bahkan ketika yang membutuhkan solusinya adalah orang Indonesia sendiri. Alasannya bisa ditebak kan, bahwa skor artikel dalam Bahasa Inggris lebih tinggi dibanding artikel salam Bahasa Indonesia.

Bukankah skor adalah urusan administratif?

Perilaku ini sebenarnya bertentangan dengan pandangan kita yang jarang mau melihat atau menghiraukan hal-hal yang sifatnya administratif.

“Kami ini peneliti, seharusnya kami hanya dibebani hal-hal substantif. Yang sifatnya administratif tugaskan ke tendik saja”, begitukan Anda bilang.
Sekian

Saya sudahi artikel ini dengan tiga hal di atas saja. Sudah banyak itu. Jadi pendek kata sekarang sudah tahun 2021 tapi Anda masih:

Berpikiran (super) statis dan sempit,
Menilai buku dari sampul luarnya,
Menilai dari bahasanya.
Enter fullscreen mode Exit fullscreen mode

Semoga tahun 2021 memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Top comments (0)