DEV Community

Ifan Jaya Suswanto Zalukhu
Ifan Jaya Suswanto Zalukhu

Posted on • Originally published at Medium on

Effort Serius Tapi Kok Hasil Bercanda


Image di generate oleh ChatGPT dengan prompt “Effort Serius Tapi Kok Hasil Bercanda.Illustration of two coworkers with opposite work styles: one arriving at the office very early with tired eyes, messy desk full of paper and coffee cups, another arriving just on time, looking relaxed, with a clean desk and a robot assistant (AI Copilot) helping him. Comic-style, light colors, office setting.”

Tulisan ini murni hasil imajinasi tanpa fakta dan data pendukung. Bukan artikel berita — cuma buat nemenin waktu luang aja. Jadi plis, jangan dibawa terlalu serius ya 🫠

Okay, mari kita mulai.

Di suatu pagi, sambil nyeruput secangkir kopi infused choco chip cookie robusta hasil cold brew, tiba-tiba kepikiran:

“Kok ada ya orang yang effort-nya serius banget tapi hasilnya bercanda (alias gak maksimal), tapi ada juga yang effort-nya kelihatan santai, malah hasilnya serius banget (luar biasa)? 🤔

Apakah ini ada hubungannya dengan hoki? Atau pas lagi bagi-bagi keberuntungan, dia ada di urutan paling belakang? Atau… apakah usaha menghianati hasil — eh maksudnya, apakah hasil menghianati usaha? 😅

(seruput kopi dulu biar imajinasinya makin ngawur…)

Kenapa sih kepikiran soal ini? Karena gak sengaja lihat teman-teman sendiri:

Teman Pertama: Si Effort Serius

Orang ini kerja kerasnya total banget. Contohnya, datang ke kantor sejam lebih pagi dari jam kerja (kantor masuk jam 09.00, dia udah nongkrong jam 08.00). Tujuannya? Biar bisa prepare dan kirim report ke leader duluan, sebelum leader datang.

Pulangnya? Jangan ditanya. Selalu jadi yang terakhir. Kadang sampai security-nya udah nyapu-nyapu dan nyalain lampu emergency, baru dia pulang 😅

Kenapa? Karena dia berusaha ngebut ngerjain technical debt dan backlog yang numpuk.

Teman Kedua: Si Effort Santai Tapi Tertata

Nah ini kebalikannya. Datang jam 09.00 pas, pulang jam 17.30 on the dot. Tapi pas performance review, guess what? Dia yang dinobatkan best performance oleh leader mereka.

(seruput lagi… kayaknya mulai perlu es batu tambahan biar gak makin panas mikirnya)

Terus saya mikir, jangan-jangan dia ini anak pemilik perusahaan yang nyamar? Kayak di drama-drama pendek China itu lho, yang ending-nya bisa ketebak tapi kita tetap nonton… eh pas mau lanjut disuruh download app dulu. 🥲

Atau… mereka ketuker waktu kecil? Karena biasanya yang ketuker itu hidupnya selalu berat, penuh perjuangan, dan hasilnya bercanda terus 😭

Eh, kok jadi bahas sinetron ya. Efek kopi sepertinya. Balik ke topik utama.

(tambahin seruputan lagi ☕)

Sampai akhirnya, ada momen saya bisa ngobrol langsung sama leader mereka. Kepo dong, nanya:

“Eh, ini si teman yang santai itu… jangan-jangan emang anak bos beneran ya?”

Ternyata bukan. Lalu si leader mereka cerita:

“Dia emang datang on time, tapi tiap pagi dia yang paling cepat submit report. Tau kenapa?”

Saya: “Hah, kok bisa?”

Leader mereka:

“Karena dia udah ngautomate banyak hal yang berulang. Misalnya submit report, dia pakai automation tools buat auto-recap dan auto-send ke saya. Jadi, meskipun badannya belum nyampe kantor, report-nya udah duduk manis di inbox saya.”

Sore hari? Sama. Pekerjaan beres, pulang on time. Bahkan lebih rapi dan cepat dari yang lain.

Kok bisa?

Karena dia pakai automation tools dan AI/Copilot_. Jadi waktu yang orang lain habisin 10 jam buat satu task, dia cukup 1–2 jam doang 😮_

Tapi… hasilnya beneran oke?

Yes bro, karena dia gak asal pakai AI. Dia treat Copilot kayak partner brainstorming, jadi tetap dia review, validasi, dan edit kalau perlu.

Intinya?

Yang satu kerja keras (hard work), yang satu kerja cerdas (smart work).

Kalau pakai analogi quotes dari Abraham Lincoln:

“Berikan saya 6 jam untuk menebang pohon, dan saya akan menghabiskan 4 jam pertama untuk mengasah kapak.”

Teman pertama tadi full 6 jam buat nebang pohon. Gak sempat ngasah kapak. Jadinya, walau semangatnya tinggi, hasilnya kurang maksimal dan capeknya luar biasa 😩

Teman kedua? Dia sempatin waktu buat ngasah kapak dan istirahat. Jadi meskipun tenaganya biasa aja, sekali ayun — duar! — langsung kena besar dan dalam.

Jadi, apakah hasil menghianati usaha?

Well… kadang iya, kadang enggak. Banyak juga yang jadi skeptis:

“Ngapain usaha keras kalau akhirnya hasilnya bercanda?”

Pikiran kayak gitu valid sih, tapi gak sepenuhnya benar juga. Yah, you know lah 🫠

Terus, kenapa teman pertama gak pakai automation / Copilot juga?

Good question.

Ada dua alasan utama:

  1. Gak sadar kalau ada masalah. Ini stage awal dalam Four Stages of CompetenceUnconscious Incompetence. Dia gak tau kalau hal yang dia alami itu masalah. Misalnya, datang pagi dan pulang malam dianggapnya biasa aja, padahal itu symptom dari sistem kerja yang gak efisien.
  2. Infinite Problem Loop Pernah lihat ilustrasi ini?


Image source : What Technical Debt Is And How It’s Measured (https://medium.com/the-andela-way/what-technical-debt-is-and-how-its-measured-ff41603005e3)

Nah, setiap kali disarankan coba automation atau AI, jawabannya:

“Nanti deh, belum sempat. Lagi sibuk ngerjain ini dulu. Itu menarik sih, tapi saya harus habiskan waktu lagi untuk belajar hal tersebut”

Akhirnya waktu habis buat kerja manual terus, jadi gak pernah sempat belajar hal baru. Dan karena gak belajar, makin stuck di pola lama. Ujung-ujungnya… ya muter-muter di loop yang gak berujung. Chicken and egg problem 🐣🥚

Padahal kalau dia sempatin waktu buat belajar tools baru, kerjaan bisa lebih cepat kelar. Sisa waktunya bisa dipakai buat belajar lebih lanjut. Combine hard work plus smart work = hasilnya? Gak cuma maksimal, tapi bisa melesat jauh 🚀

So, what did we learn?

Kalau disimpulkan…

Ngopi sambil nonton short drama China ternyata bisa menghasilkan pemikiran yang surprisingly dalam… 😀

Top comments (0)