DEV Community

Ferry Ananda Febian
Ferry Ananda Febian

Posted on

Monolith vs Microservices: Kenapa Sebaiknya Mulai dari Monolith?

 Dalam dunia pengembangan software, dua arsitektur yang paling sering dibandingkan adalah monolith dan microservices. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tetapi menurut saya ada satu prinsip penting yang sering dilupakan: setiap project cukup dimulai dengan monolith.

Apa Itu Monolith dan Microservices?

  • Monolith adalah arsitektur di mana seluruh aplikasi dibangun sebagai satu kesatuan utuh. Semua fitur, logika bisnis, dan database biasanya terhubung dalam satu codebase.
  • Microservices adalah pendekatan di mana aplikasi dipecah menjadi layanan-layanan kecil yang independen, masing-masing bisa dikembangkan, dideploy, dan diskalakan secara terpisah.

Daya Tarik Microservices

Microservices memang terdengar modern dan keren. Banyak perusahaan besar seperti Netflix, Amazon, atau Gojek menggunakannya. Skalabilitas yang fleksibel, tim yang bisa bekerja paralel, serta kebebasan memilih teknologi per layanan sering dijadikan alasan untuk mengadopsinya sejak awal.

Namun, ada sisi lain yang jarang dibicarakan: yaitu kompleksitas. Microservices butuh orkestrasi yang rumit, monitoring, logging, komunikasi antar-service, hingga pengelolaan database terdistribusi. Hal-hal ini bisa menjadi beban besar untuk project yang masih kecil atau baru dimulai.

Kenapa Sebaiknya Mulai dari Monolith?

  1. Lebih Cepat dalam Validasi Ide
    Di tahap awal, fokus utama bukanlah skala, melainkan apakah produk kita dipakai orang atau tidak. Monolith memungkinkan pengembangan lebih cepat karena tidak perlu memikirkan pembagian service, deployment, dan integrasi.

  2. Lebih Mudah Dikelola Tim Kecil
    Startup atau project baru biasanya dimulai dengan tim kecil. Monolith lebih mudah dipahami karena semua kode ada dalam satu tempat. Tidak ada overhead komunikasi antar-service yang bisa memperlambat proses belajar tim.

  3. Lebih Murah secara Infrastruktur
    Microservices sering kali butuh banyak server, container, dan sistem pendukung. Sementara monolith bisa jalan di satu mesin atau instance kecil. Dengan begitu, biaya awal jauh lebih rendah.

  4. Refactor ke Microservices Bisa Datang Belakangan
    Jika nantinya produk tumbuh dan memang benar-benar butuh skalabilitas lebih, monolith tetap bisa di-split menjadi microservices secara bertahap. Banyak perusahaan besar pun awalnya lahir sebagai monolith sebelum berevolusi.

Microservices Bukan Musuh

Bukan berarti microservices buruk. Untuk aplikasi dengan traffic sangat besar, tim besar, atau kebutuhan integrasi yang kompleks, microservices bisa jadi solusi terbaik. Tetapi memulai dari awal justru bisa memperlambat perjalanan menuju product-market fit.

Kesimpulan

Membangun software itu mirip dengan membangun rumah. Kita tidak langsung memikirkan bagaimana jika rumah ini jadi hotel 100 lantai, yang penting adalah apakah rumahnya nyaman ditinggali dulu.

Karena itu, menurut saya:
👉 Setiap project sebaiknya dimulai dengan monolith.
Sederhana, cepat, dan hemat. Kalau nanti skalanya memang menuntut, selalu ada jalan untuk berevolusi ke microservices.

Top comments (0)