Pengalaman seorang programmer yang mendapati dirinya menjadi seorang Team Leader tanpa persiapan, serta bagaimana imposter syndrome memengaruhi perasaan ketidakpercayaan diri dan segan, dan bagaimana belajar untuk mengatasinya dalam peran barunya ini. Cerita ini dibuat dengan bantuan ChatGPT
This image was created with the help of Google Gemini
Saat sebagian besar orang bermimpi menjadi seorang pemimpin tim atau manajer, ada yang merasa berbeda. Wawan, seorang software developer yang lebih suka menangani aspek teknis daripada orang-orang, menurut dia tidak semua orang diciptakan untuk menjadi leader. Baginya, setiap orang seharusnya mampu memimpin diri sendiri tanpa perlu seorang pemimpin.
Namun, karena alasan satu dan dua hal, Wawan mendapati dirinya harus memasuki jalur struktural dan menjadi team leader bagi rekan-rekan software developer. Meskipun perasaannya saat itu bergejolak, dia menerima tanggung jawab ini. Namun, ia sering merenung mengapa ia melangkah ke arah yang berlawanan dengan idealismenya pada awalnya.
Pelajaran 1 : Team Leader Bukanlah Pribadi yang Sempurna
Awalnya, saat memulai peran barunya sebagai team leader, semangatnya luar biasa, seperti halnya team leader baru pada umumnya. Namun, ia menyadari bahwa semangat saja tidak cukup. Ia perlu mengenal tim yang akan dipimpinnya dan memahami bidang kerja mereka. Ketika ia mengenal timnya, ia menyadari bahwa banyak di antara mereka adalah senior yang berpengalaman bertahun-tahun, sementara dia adalah lulusan baru. Ketidakpastian pun mulai muncul. Ia takut timnya memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi padanya, karena ia merasa seorang team leader harus tahu segalanya.
Dari sinilah tekadnya muncul: ia harus belajar lebih keras, bahkan dua kali lipat dari anggota timnya, agar dapat sejajar dengan mereka. Ia menghabiskan waktu dengan intens untuk mengejar ketertinggalannya, karena ia percaya bahwa untuk mendapatkan kepercayaan tim, ia harus menjadi yang terbaik di antara mereka.
Namun, akibatnya adalah burnout. Wawan berusaha belajar sendiri, tanpa berani bertanya kepada timnya. Baginya, team leader harus menjadi panutan atau role model yang sempurna.
Wawan tidak menyadari beberapa hal penting di awal perjalanannya yang menjadi key points :
- Seorang team leader tidak harus lebih unggul dari timnya dalam segala hal. Inilah yang membedakan peran seorang individu kontributor.
- Seorang team leader harus berkolaborasi dengan timnya, bukan berkompetisi dengan mereka. Mereka harus belajar dan tumbuh bersama.
- Seorang team leader tidak harus sempurna; ia boleh memiliki kelemahan. Bahkan lebih baik jika ia menginformasikan kelemahannya kepada timnya, sehingga tim dapat membantunya di bidang tersebut.
Pelajaran 2 : Tidak Percaya Diri & Segan / Tidak Enakkan
Ketakutan Tidak Percaya Diri: Wawan, sebagai Team Leader baru yang masih muda dan kurang berpengalaman, sering kali merasa kurang percaya diri ketika berhadapan dengan rekan-rekan yang lebih senior. Ia merasa bahwa mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih baik, sehingga tidak pantas baginya untuk memberikan pandangan atau mengambil peran yang lebih dominan dalam tim.
Sikap Segan dan Tidak Enakkan: Karena rasa tidak percaya diri ini, Wawan juga merasa segan untuk meminta bantuan atau mengajukan pertanyaan kepada rekan-rekan yang lebih senior. Ia takut kelihatan tidak kompeten atau mengganggu mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin terlihat sederhana. Sikap ini mengakibatkan isolasi dan kurangnya interaksi yang sehat antara Wawan dan anggota timnya yang lebih berpengalaman.
Beda pandangan dengan leader: beda pandangan muncul ketika Wawan berusaha untuk meminta agar tim yang ditanganinya terdiri dari individu yang memiliki usia dan pengalaman yang lebih seragam. Ia mencoba untuk menghindari situasi yang membuatnya merasa tidak nyaman atau tidak percaya diri. Namun, Pak JK, seorang mentor dan sekaligus leadernya, memiliki pandangan yang berbeda. Pak JK percaya bahwa keragaman dalam tim adalah kunci keberhasilan, dan bahwa Wawan harus belajar untuk bekerja dengan rekan-rekan yang berbeda usia dan tingkat pengalaman.
Key Points :
- Tim yang beragam dalam pengalaman dan usia dapat memberikan sudut pandang yang berharga, serta mendukung pertumbuhan dan pembelajaran bersama.
- Mempertahankan jarak dengan anggota tim yang lebih senior dapat menghambat kemajuan dan kolaborasi yang efektif.
- Kerja sama dalam tim harus didasarkan pada rasa saling menghormati dan keterbukaan untuk memberikan dan menerima bantuan serta umpan balik, terlepas dari perbedaan usia dan pengalaman.
Pelajaran 3 : Kecemasan Berlebihan & Dampaknya pada Tindakan
Ketika salah satu anggota tim Wawan mengundurkan diri, dia mulai merasa cemas secara berlebihan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan apakah dia telah memimpin tim dengan benar, apakah dia gagal mempertahankan anggota timnya, atau mungkin dia telah membuat kesalahan dalam komunikasi. Meskipun realitasnya mungkin berbeda, pikiran-pikiran negatif ini cukup mengganggu pikirannya pada awalnya.
Meskipun anggota tim yang berhenti sudah menjelaskan alasannya, dan manajemen juga telah memberikan klarifikasi, Wawan masih merasa ragu. Akibatnya, dia mengambil tindakan yang tidak tepat, yaitu berusaha untuk menyenangkan semua anggota timnya. Salah satu contohnya adalah ketika memberikan feedback dalam 360 performance review. Biasanya, dia hanya memberikan pujian dan mengabaikan aspek-aspek yang perlu diperbaiki, dengan alasan untuk menghindari melukai perasaan anggota tim atau menciptakan ketidaknyamanan.
Namun, akibatnya adalah tidak semua anggota timnya senang. Sebagian dari mereka merasa bosan dan merasa bahwa mereka tidak berkembang. Beberapa bahkan bingung dengan arahan yang diberikan.
Key Points :
- Kecemasan berlebihan dan reaksi yang berlebihan terhadap peristiwa yang normal dapat mengganggu efektivitas kepemimpinan.
- Memberikan umpan balik yang jujur dan seimbang adalah penting untuk pertumbuhan dan pengembangan tim.
- Seorang Team Leader harus memahami bahwa ketidaknyamanan sesekali adalah bagian dari pertumbuhan dan perkembangan tim yang sehat.
Dalam perjalanan Wawan sebagai Team Leader baru, terlihat bahwa imposter syndrome adalah seperti bug yang seringkali merayap di pikiran seorang programmer.
Wawan belajar bahwa menjadi seorang Team Leader bukanlah tentang menjadi “perfect coder” yang menghindari setiap “error,” melainkan tentang memahami nilai dari berbagai pengalaman dan kontribusi yang berbeda dalam tim serta berani untuk mengatasi ketidakpercayaan diri yang mungkin muncul akibat imposter syndrome.
Dengan menerima perbedaan, membuka diri untuk pertumbuhan, dan memberikan umpan balik yang jujur, seorang Team Leader dapat mengatasi “bug” imposter syndrome dan memimpin dengan lebih efektif, tanpa perlu khawatir tentang “coding error” yang tak terhindarkan.
Sebagai seorang programmer, Wawan tahu bahwa kadang-kadang, perlu ada debug dan update dalam diri kita juga!
Top comments (0)