Setiap kali seseorang bilang ingin membuat bahasa pemrograman baru, reaksi pertama yang sering muncul adalah tawa kecil atau skeptisisme:
“Untuk apa? Sudah ada Python, Rust, Go, JavaScript,PHP, Java, C , C++ dan ratusan lainnya.”
Dan saya paham kenapa begitu.
Kita hidup di era di mana hampir semua kebutuhan pengembangan sudah punya alatnya. Ada framework untuk setiap gaya berpikir, ada library untuk setiap masalah, bahkan ada AI yang bisa menulis kode lebih cepat dari manusia. Jadi, muncul pertanyaan yang wajar: kenapa masih ada orang yang merasa perlu membuat bahasa pemrograman baru?
Keresahan Itu Datang Dari “Rasa Tidak Cukup”
Setiap developer pasti pernah merasakan momen di mana mereka tidak puas dengan cara sebuah bahasa memaksa mereka berpikir. Bukan karena bahasanya jelek, tapi karena cara berbahasa itu tidak lagi terasa alami.
Kita terbiasa menyesuaikan diri dengan sintaks, aturan, dan paradigma yang sudah ditentukan. Tapi lama-kelamaan, muncul rasa ingin membalikkan arah: Bagaimana kalau justru bahasa yang menyesuaikan diri dengan cara kita berpikir?
Di situlah keresahan itu tumbuh. Bukan soal ingin menciptakan sesuatu yang “lebih baik dari semua bahasa lain”, tapi lebih kepada ingin menemukan cara baru untuk berpikir dan menulis logika.
Apakah Dunia Masih Butuh Bahasa Baru?
Kalau kita bicara efisiensi murni mungkin tidak. Tapi kalau bicara ekspresi, pendidikan, budaya berpikir, dan inovasi, jawabannya: ya, sangat mungkin.
Bahasa pemrograman bukan sekadar alat menulis instruksi untuk mesin. Ia juga cara manusia menstrukturkan logika, mengekspresikan ide, dan berkomunikasi dengan sistem. Bahasa baru sering lahir dari ketidakpuasan terhadap batas-batas yang ada — dan justru dari sanalah teknologi berkembang.
Tidak semua bahasa baru harus menggantikan yang lama. Beberapa mungkin hanya menjadi eksperimen singkat, tapi eksperimen itulah yang mendorong batas pemikiran komunitas developer.
Dampaknya Tidak Selalu Besar — Tapi Bisa Bermakna
Kita sering menilai “relevansi” dari seberapa banyak orang yang memakainya. Padahal, terkadang, dampak sejati dari sebuah bahasa bukan pada jumlah penggunanya, tapi pada cara berpikir baru yang ia tanamkan.
Setiap bahasa membawa filosofi tersendiri:
Ada yang fokus pada kesederhanaan.
Ada yang ingin ekstrem dalam efisiensi.
Ada yang mencoba mendekatkan manusia dan mesin melalui bentuk ekspresi baru.
Dan di sinilah poin pentingnya: membuat bahasa baru bukan hanya soal menulis compiler, tapi soal menciptakan ruang ide baru bagi cara manusia memahami teknologi.
Bagaimana Saya Memulainya
Awalnya bukan karena ambisi besar, tapi karena rasa penasaran:
“Bagaimana kalau bahasa ini bisa ditulis dengan cara yang lebih manusiawi?”
“Bagaimana kalau sintaksnya bisa berbicara dalam cara berpikir yang berbeda?”
Dari pertanyaan sederhana itu, saya mulai mencatat ide, menulis contoh kecil, bereksperimen dengan parser, dan melihat bagaimana satu baris kode bisa punya makna yang lebih dekat dengan niat penulisnya.
Itu bukan perjalanan cepat. Membuat bahasa bahkan sekadar prototipe adalah proses panjang antara logika, bahasa manusia, dan kesabaran. Tapi setiap kali satu konsep berhasil dijalankan, ada rasa kepuasan yang tidak tergantikan:rasa bahwa saya sedang mencoba menciptakan “cara berpikir baru”.
Penutup
Apakah dunia masih butuh bahasa pemrograman baru? Mungkin tidak untuk efisiensi, tapi ya untuk evolusi berpikir.
Selama masih ada orang yang merasa bahwa mesin bisa lebih memahami manusia, selama masih ada yang ingin menulis kode dengan rasa ingin tahu, maka selalu ada ruang bagi bahasa baru untuk lahir. Bukan untuk menggantikan, tapi untuk menambah warna dalam cara kita memahami logika dan teknologi.
Top comments (0)